## I.
Pukul dua pagi, layar ponsel seperti akuarium—wajah-wajah bahagia berenang dalam cahaya biru, terjebak dalam kotak-kotak kecil yang tak pernah cukup luas untuk menampung seluruh cerita. Jarinya bergerak mekanis: *scroll, like, scroll*. Keluarga lengkap. Pasangan merangkul. Anak-anak diangkat tinggi oleh ayah yang tak pernah pergi.
Ia mematikan ponsel. Refleksi wajahnya sendiri—samar, terdistorsi—muncul sekilas di layar gelap sebelum menghilang.
Dari kamar sebelah, napas empat anak naik-turun seperti ombak kecil yang tak pernah mencapai pantai. Suara yang harusnya menenangkan, tapi malam ini terasa seperti pengingat: *Kamu tidak sendirian, tapi kenapa terasa begitu?*
*Jendela kamar menghadap ke rumah tetangga. Bahkan dalam gelap, ia tahu di balik kaca sana ada kehangatan yang tak pernah ia miliki.*
## II.
*Raya berusia tujuh tahun, berdiri di ambang pintu. Papa sedang memasang bingkai foto di dinding—keluarga baru dengan perempuan berambut keriting dan anak laki-laki yang giginya ompong.*
*"Foto Raya mana, Pa?"*
*Papa terdiam. Palu masih terangkat di udara.*
*"Nanti Papa cariin yang bagus, ya."*
*Tapi Papa tak pernah mencari. Foto itu tak pernah ada.*
*Malam itu, melalui celah pintu kamarnya yang baru, ia mendengar tawa dari ruang makan. Suara itu mengalir seperti air hangat, tapi tak pernah sampai ke kamarnya yang dingin. Ia menutup mata, membayangkan dirinya duduk di meja itu, tertawa untuk lelucon yang sama.*
*Tapi ketika membuka mata, yang ada hanya dinding polos dan foto keluarga orang lain yang terdengar dari seberang.*
---
Tiga puluh tahun kemudian, ia masih ingat tekstur dinding polos itu. Masih bisa merasakan dinginnya, seolah tangannya baru saja menyentuhnya.
## III.
"Mama, kenapa Papa pergi?"
Aisyah bertanya sambil menyisir rambut bonekanya—gerakan yang sama persis seperti yang dilakukan Raya pada boneka di usia yang sama, bertahun-tahun lalu di kamar yang bukan miliknya.
"Papa..." Raya berhenti menyeka piring. Air sabun menetes dari tangannya. "Papa suka jalan-jalan."
"Kapan pulang?"
*Tidak pernah, sayang. Orang seperti Papa tidak pulang. Mereka datang, melihat, lalu mencari jendela lain untuk diintip.*
"Nggak tahu. Mungkin lama."
Aisyah mengangguk, lalu kembali menyisir rambut boneka dengan teliti. Anak-anak selalu lebih pandai membaca keheningan daripada kata-kata.
*Di jendela dapur, bayangan Raya terpantul bersama bayangan Aisyah. Dua generasi perempuan yang belajar bahwa menunggu adalah pekerjaan yang tak pernah selesai.*
## IV.
*Hotel murah di pinggir kota. Sprei bergaris biru-putih yang sudah kusam.*
*"Kamu cantik banget, tau."*
*Raya tersenyum. Kalimat yang sama dari mulut yang berbeda-beda.*
*"Tapi kamu tahu kan, gue lagi nggak siap yang serius-serius..."*
*Tentu. Selalu tidak siap. Siap untuk merayu, tidak siap untuk tinggal.*
*Setelah pria itu pergi, Raya duduk di tepi ranjang, menatap jendela kamar yang tertutup tirai. Di balik tirai itu ada dunia yang bergerak—orang-orang pulang ke rumah mereka yang sesungguhnya, ke pelukan yang menunggu, ke meja makan yang sudah disiapkan.*
*Ia menarik tirai sedikit. Lampu-lampu kota berkelip seperti mata yang mengantuk. Semuanya tampak begitu jauh, seolah ia mengintip kehidupan orang lain dari balik kaca tebal yang tak bisa dipecahkan.*
---
Bertahun-tahun kemudian, setiap kali melihat hotel, ia masih ingat bau pembersih lantai yang menyengat dan suara langkah kaki di koridor yang bergema seperti countdown—menuju kepergian yang pasti.
## V.
Sore ini, di taman bermain, ia duduk di bangku sambil mengawasi anak-anaknya. Si kembar berlarian mengejar gelembung sabun yang pecah sebelum tertangkap. Aisyah mendorong adiknya di ayunan dengan sabar.
*Mereka tidak tahu bahwa Mama mereka pernah menjadi gelembung sabun—indah dari jauh, tapi pecah begitu disentuh.*
Ponsel bergetar. Pesan dari nomor asing: *"Hai cantik, lihat story kamu. Kenal dong."*
Jarinya melayang di atas keyboard. Ia bisa mengetik *"Aku bukan cantik yang kamu pikir."* Atau *"Kamu hanya melihat permukaannya."* Atau *"Aku sudah terlalu tua untuk permainan ini."*
Tapi yang dilakukannya adalah menghapus pesan itu. Lalu memblokir nomornya.
*Dari bangku taman ini, ia bisa melihat jendela-jendela rumah di seberang. Sebagian tirai terbuka, menampakkan keluarga yang sedang makan malam. Ada yang tirai tertutup rapat—mungkin mereka juga punya rahasia di balik kaca.*
## VI.
*Ruang USG yang dingin. Gel lengket di perut. Layar hitam-putih yang berkedip.*
*"Maaf, Bu. Jantungnya berhenti."*
*Raya menatap layar. Titik kecil yang harusnya berdetak seperti bintang yang mati.*
*"Yang kedua juga?"*
*Dokter mengangguk. Mata lelah yang sudah terlalu sering menyampaikan kabar buruk.*
*Raya tidak menangis di ruang itu. Ia mengangguk sopan, berterima kasih, lalu berjalan keluar dengan langkah yang terlalu tegap untuk seorang ibu yang baru kehilangan dua anaknya sekaligus.*
*Di parkiran rumah sakit, dalam mobil yang panas, barulah ia roboh. Tangisnya memecah keheningan siang hari, keras dan putus asa, seperti suara kaca yang pecah.*
*Dua malaikat kecil yang tidak sempat melihat dunia. Dua nama yang sudah ia bisikkan dalam doa-doa malam. Dua kursi kosong di meja makan yang tak pernah akan terisi.*
---
Malam ini, saat anak-anak tidur, ia membuka laci paling bawah. Dua foto USG dilipat rapi dalam amplop coklat. Kertas yang sudah menguning, tapi bayangan kecil di dalamnya masih jelas.
Ia meletakkan foto itu di jendela kamar, bersandar pada kaca. *Seandainya kalian di sini, mungkin jendela ini tidak terasa seperti pembatas. Mungkin rumah ini benar-benar rumah.*
## VII.
Ia tidak pernah menulis status tentang malam-malam ketika ia berdiri di jendela dapur pukul tiga pagi, menatap rumah tetangga yang gelap dan bertanya-tanya bagaimana rasanya tidak merasa asing di rumah sendiri.
Ia tidak pernah memposting foto ketika ia menangis di kamar mandi sambil air shower mengalir, berharap suara air akan menyamarkan isak tangisnya agar anak-anak tidak dengar.
Yang ia bagikan hanya: foto anak-anak yang tertawa, makanan yang ia masak dengan hati kosong, quote-quote motivasi yang ia baca tapi tidak ia rasakan.
*0,01 persen. Sisanya tersimpan di balik jendela kaca yang ia bangun sendiri—tembus pandang dari luar, tapi tak ada yang benar-benar melihat ke dalam.*
## VIII.
Pagi ini, seorang nenek terjatuh di depan minimarket. Raya menghentikan motornya, membantu nenek itu berdiri.
"Terima kasih, Nak. Kamu baik sekali."
"Tidak apa-apa, Nek."
Nenek itu menatapnya lama. "Wajah kamu sedih, Nak. Kenapa?"
Raya terdiam. Sudah lama tidak ada yang bertanya tentang kesedihannya, bukan tentang kecantikannya.
"Hidup kadang berat, Nek."
"Iya. Tapi kamu masih di sini. Masih bisa bantu orang lain. Itu sudah hebat."
*Masih di sini.* Kalimat sederhana yang terasa seperti pencapaian terbesar.
Sepanjang hari, kalimat itu bergema. *Masih di sini. Masih bernafas. Masih bisa memberi, meski kosong.*
*Mungkin kebaikan adalah cara untuk memecahkan kaca yang memisahkan dirinya dari dunia. Satu retakan kecil setiap kali ia mengulurkan tangan.*
## IX.
*Raya kecil, umur lima tahun, menangis karena boneka kesayangannya robek. Mama duduk di sampingnya, mengambil benang dan jarum.*
*"Mama bisa jahit nggak?"*
*"Coba dulu. Kalau robek, bisa dijahit. Kalau hancur, bisa dibuat jadi yang baru."*
*Mama menjahit dengan teliti. Bekas jahitan masih terlihat, tapi boneka itu utuh kembali.*
*"Lihat. Kadang yang pernah robek malah jadi lebih kuat."*
---
Sekarang, saat menjahit baju anak-anaknya yang sobek, ia ingat kata-kata Mama. Tangannya mengikuti gerakan yang sama—memasukkan benang, menarik perlahan, membuat jahitan sekecil mungkin.
*Mungkin ia juga seperti boneka itu. Pernah robek, dijahit kembali dengan benang yang kasat mata. Bekasnya masih ada, tapi ia masih utuh. Masih bisa dirangkul. Masih bisa menghangatkan.*
## X.
Tengah malam, ia bangun karena Aisyah demam. Saat mengompres dahi anaknya, Aisyah berbisik dalam setengah sadar:
"Mama jangan pergi, ya."
"Mama nggak akan pergi."
"Janji?"
"Janji."
*Kali ini, janji yang ia ucapkan adalah janji yang bisa ia tepati. Kali ini, ia yang akan tinggal.*
Sambil menunggu demam Aisyah turun, ia duduk di samping tempat tidur, menatap jendela kamar yang memantulkan bayangan mereka berdua. Ibu dan anak, saling menjaga dalam kegelapan.
*Di refleksi jendela itu, untuk pertama kalinya, ia tidak melihat kaca sebagai pembatas. Tapi sebagai cermin—menunjukkan siapa dirinya sesungguhnya. Seorang ibu. Seseorang yang dibutuhkan. Seseorang yang memilih untuk tinggal.*
## XI.
Subuh. Sebelum adzan, ia sudah bangun. Kebiasaan lama—mencuri waktu sebelum dunia bangun, sebelum suara anak-anak mengisi rumah.
Ia berwudu, lalu sujud di sajadah yang sudah tipis. Di hadapan Yang Maha Melihat, tak ada jendela kaca yang perlu dipelihara.
*"Ya Allah, terima kasih karena aku masih di sini. Masih bisa merasakan sakit, berarti masih bisa merasakan. Masih bisa mencinta, meski caranya berbeda dari yang aku dulu bayangkan."*
Air mata menetes, tapi kali ini bukan karena kesedihan. Lebih seperti hujan yang membersihkan kaca jendela—membuat pandangan jadi lebih jernih.
Adzan berkumandang. Suara yang sama yang ia dengar sejak kecil, di rumah-rumah yang berbeda, di masa-masa yang berbeda. Satu-satunya konstanta dalam hidupnya yang penuh perpindahan.
Dari kamar sebelah, suara anak terkecil memanggil: "Mama..."
Ia bangkit, melipat sajadah, dan berjalan menuju suara itu. Langkahnya tidak lagi terasa berat.
*Di jendela kamar anak-anak, cahaya fajar mulai menyusup. Bukan cahaya yang membutakan, tapi cahaya yang mengundang—seperti rumah yang pintunya terbuka, menunggu seseorang pulang.*
## XII.
Pagi ini, sambil menyiapkan sarapan, ia mendengar anak-anaknya tertawa di kamar. Suara yang murni, tanpa beban, tanpa perhitungan. Suara yang mengingatkannya bahwa cinta yang sesungguhnya memang seperti itu—datang tanpa syarat, tinggal tanpa janji yang muluk-muluk.
Melalui jendela dapur, ia melihat tetangga menyirami tanaman. Perempuan itu melambaikan tangan, tersenyum tulus. Raya membalas lambaian itu.
*Untuk pertama kalinya, jendela tidak terasa seperti pembatas. Tapi seperti jembatan—menghubungkan dunianya dengan dunia orang lain, tanpa harus kehilangan dirinya sendiri.*
Aisyah masuk ke dapur, memeluk pinggang Raya dari belakang.
"Mama, aku sayang Mama."
"Mama juga sayang Aisyah."
"Sayang kenapa?"
Raya berhenti mengaduk telur. Pertanyaan yang sederhana tapi dalam.
"Sayang karena Aisyah ada. Karena Aisyah milik Mama. Karena Mama milik Aisyah."
*Bukan karena cantik. Bukan karena berguna. Hanya karena ada.*
Di jendela dapur, refleksi mereka berdua terlihat jelas. Ibu dan anak, saling memiliki dalam cara yang tidak rumit. Tidak perlu dijaga di balik kaca. Cukup hidup, cukup nyata, cukup ada.
Matahari naik sepenuhnya. Hari yang baru dimulai.
Dan Raya, dengan segala retakan yang sudah dijahit ulang, masih di sini. Tidak lagi bersembunyi di balik jendela kaca, tapi berdiri di hadapannya—melihat dunia dengan jernih, dan membiarkan dunia melihatnya apa adanya.
*Rumah ini, dengan segala kekurangannya, adalah rumahnya. Dan ia, dengan segala lukanya, adalah dirinya. Utuh dalam ketidaksempurnaan. Indah dalam kerapuhan.*
*Di balik jendela kaca yang akhirnya tidak lagi ia perlukan.*
#resonansi #ceritakehidupan #dramapendek #nostalgia #Psikologi #blessed #romansa
---

Tidak ada komentar:
Posting Komentar